Karya Tulis Santri Pesantren Hidayatullah Yogyakarta - Menggali Makna Kemerdekaan Dari Sejarah Hingga Tantangan Masa Kini

Dentuman-dentuman terdengar di mana-mana, orang-orang berlarian menenteng segala jenis senjata pada masa itu. Jual beli peluru berlangsung sengit, darah bercucuran di setiap sudut, dan teriakan “Takbir!” serta “Merdeka!” menjadi kunci kemenangan kita dalam perang melawan penjajah.

Kemenangan ini ditandai dengan proklamasi Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik dan dibacakan oleh Presiden pertama, Soekarno, didampingi oleh Hatta sebagai Wakil Presiden pertama, tepat pada tanggal 17 Agustus 1945. Tanggal ini menjadi hari kemerdekaan dan ulang tahun Indonesia. Kala itu, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya saat Jepang menarik sebagian pasukannya karena pengeboman di kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat.

Dalam pengeboman ini, terdapat sebuah konspirasi; kala itu, Amerika mengirim sebuah surat kepada Jepang yang berisikan rencana pengeboman tersebut serta permintaan agar Jepang menyerah.

Tanggal 17 Agustus dijadikan hari libur nasional dan dirayakan oleh rakyat Indonesia dengan menggelar berbagai lomba di seluruh daerah, dari Sabang sampai Merauke. Ada juga yang menghormati hari kemerdekaan ini dengan melaksanakan upacara. Upacara ini biasa dilakukan oleh seluruh sekolah, universitas, perusahaan, pabrik, dan lain sebagainya.

Namun, apakah setelah negeri ini merdeka, kita akan selamanya merdeka? Tentu tidak. Sejatinya, kita masih dijajah dalam bentuk lain. Lewat internet, kita dicuci otak; para pemimpin diiming-imingi oleh harta duniawi; para pemuda dan pemudi mulai disibukkan dengan berbagai tren, gaya hidup, perasaan, dan lain sebagainya.

Salah satu bukti bahwa kita masih terjajah adalah PT Freeport. Perusahaan tambang terbesar di dunia yang sejatinya milik Indonesia, tetapi sebagian besar keuntungannya jatuh ke tangan asing. Inilah salah satu bukti nyata yang masih terasa hingga kini bahwa kita masih berada dalam keadaan dijajah oleh kekuatan luar, bahkan pemerintah sendiri!

Sebagai pemuda harapan bangsa, kita seharusnya sadar bahwa masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki di berbagai bidang. Kita, yang seharusnya memenuhi harapan bangsa, harus mempersiapkan diri demi mewujudkan Indonesia yang “emas,” bukan “cemas.”

Di balik 17 Agustus 1945, terdapat banyak cerita heroik yang pernah terjadi, salah satunya adalah penculikan Soekarno-Hatta yang dikenal dengan peristiwa Rengasdengklok. Penculikan ini dilakukan oleh sekelompok pemuda-pemudi Indonesia dengan tujuan untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dengan ini, Indonesia dapat segera merdeka dari penjajahan.

Namun, setelah kemerdekaan, sebagian penjajah masih tersisa di tanah air. Mau tidak mau, pemuda-pemudi, orang tua, guru, tentara, ulama, bahkan santri harus menyulut peperangan untuk mengusir para penjajah yang tersisa demi tanah air.

Merdeka bukanlah harga yang murah. Di balik kemerdekaan, banyak rakyat Indonesia yang membayar dengan harta, tahta, nyawa, bahkan penderitaan yang tiada ujungnya. Seperti cacat permanen, penyakit organ dalam, kehilangan akal sehat, atau penderitaan yang membuat mereka merasa lebih baik mati daripada hidup sengsara.

Apakah mereka menyesal? Tidak. Mereka sama sekali tidak menyesal, bahkan mereka bangga atas apa yang telah mereka korbankan. Mereka bangga telah bisa mengabdi kepada negara, dan tidak ada hal yang bisa menutupi rasa bangga mereka yang telah berkorban demi kita dan tanah air.

Kita sepatutnya bersyukur, karena tanpa mereka, mungkin saat ini kita masih berada di bawah penjajahan Belanda dan negara lainnya. Renungkanlah apa yang telah mereka korbankan demi kita! Bangkitlah, pemuda-pemudi harapan bangsa! Tunjukkan bahwa kita yang terbaik! Rayakan kemerdekaan ini dengan semangat membara, dan buat Indonesia menjadi lebih baik. Dahulu kita terjajah karena Indonesia tidak bersatu, terpecah belah, bagai sapu lidi tanpa rotan.

Oleh karena itu, mari kita bersatu kembali. Rekatkan tali persaudaraan antara sesama, baik itu muslim atau non-muslim, demi INDONESIA MERDEKA!

MERDEKA! MERDEKA! MERDEKA!

Leave a Comment